Obat-obatan herbal antikanker di Indonesia masih belum diakui di dunia kedokteran untuk menjadi pendamping obat-obatan kimia penghambat kanker karena belum ada yang teruji secara klinis.
"Dokter tidak mau mengakui obat-obatan herbal secara de jure, tapi secara de facto mereka biasa memanfaatkannya, misalnya tradisi minum jamu atau pijat," kata Menristek Kusmayanto Kadiman pada Simposium Penelitian Bahan Obat alami XIV Pendayagunaan Produk Bahan Alami dalam Mengatasi Kanker di Jakarta.
Menurut dia, sebenarnya beberapa tahun terakhir masyarakat dunia, khususnya negara maju lebih menyukai pengobatan tradisional berbahan dasar tumbuh-tumbuhan daripada menggunakan obat sintetik terkait efek sampingnya.
Kecenderungan kembali menggunakan obat-obatan tradisional alami dikenal sebagai "gelombang hijau baru".
Kusmayanto meminta agar riset obat-obatan herbal terus ditingkatkan berhubung Indonesia sangat kaya akan keanekaragaman hayati sekaligus mengurangi besarnya nilai impor obat-obatan sintetik.
Sementara itu, Deputi Kepala BPPT bidang Agroindustri dan Bioteknologi Wahono Sumaryono mengatakan, meskipun belum diakui oleh dunia kedokteran karena belum melalui uji klinis maupun preklinis, perdagangan obat-obatan herbal diperkirakan tumbuh sampai Rp10 triliun pada 2010, sepertiga dari volume perdagangan obat-obatan sintetik yang mencapai Rp 30 triliun.
Wahono juga mengatakan, dari 300.000 spesies tanaman di dunia, baru dua persen tanaman yang bagian-bagiannya telah diteliti secara kimia berkhasiat menyembuhkan.
Di Indonesia yang dikenal sebagai megadiversity memiliki sekitar 9.600 spesies tanaman medis, 250 spesies di antaranya sudah digunakan secara komersial sebagai obat herbal, tambahnya.
Meski ada 1.056 bahan aktif yang sedang diteliti, lanjut Wahono, tetapi baru lima jenis saja obat herbal yang sudah melalui uji klinis atau uji pada manusia dan diizinkan beredar di pasaran serta disebut sebagai obat fitofarmaka.
Misalnya obat penurun hipertensi atau obat antidiare, tetapi belum ada yang berupa obat antikanker, katanya.
"Sebanyak 23 jenis merupakan obat herbal terstandar atau telah melalui uji praklinis atau uji pada hewan dan telah menjadi kandidat fitofarmaka. Sedangkan yang masih berupa jamu ada ribuan jumlahnya," ujarnya.
Kusmayanto mengatakan, untuk menjadikan obat-obatan herbal sebagai obat resmi membutuhkan waktu sangat lama, bahkan ada yang memakan sampai 15 tahun dari mulai riset, uji in vitro di lab, uji pada hewan, uji pada manusia sampai diizinkan untuk beredar.
Sementara itu, Dirut RS Dharmais Sutoto yang bekerja sama dengan Perhimpunan Peneliti Bahan Alam (Perhipba) melakukan review terhadap riset-riset obat herbal mengatakan, di RS Dharmais meskipun obat-obatan herbal belum diakui secara resmi, tetapi fitofarmaka sudah menjadi pendukung pengobatan resmi.
Pihaknya, lanjut dia, juga sudah melakukan riset praklinis terhadap sejumlah obat herbal yang terbukti di lab memiliki zat-zat antikanker, seperti mahkota dewa dan buah merah
Sumber : ANT , Kompas, Jumat, 14 Agustus 2009
0 komentar:
Posting Komentar