Para ahli memperkirakan, lebih dari 100 juga pria di seluruh dunia mengalami gangguan fungsi seksual. Di Amerika Serikat, 30 persen pria mengalami ejakulasi dini, sedangkan di Indonesia, diperkirakan sekitar 20 persen pria yang datang ke klinik impotensi mengeluhkan juniornya yang selesai lebih cepat. Mengapa kini makin banyak pria bermasalah dengan "kejantanannya?"
Menurut penjelasan dr. Andi Sugiarto, Sp.RM, dari Rumah Sakit Pantiwilasa Citarum, Semarang, pada banyak kasus ejakulasi dini (ED), faktor psikis sangat berpengaruh. "Saat ini pressure orang sangat tinggi, terutama dari pekerjaan dan kehidupan sosial. Orang juga cenderung lebih cemas dan tergesa-gesa," katanya dalam seminar online Mengatasi Ejakulasi Dini (25/2).
Faktor lain terjadinya ejakulasi dini adalah rendahnya kadar serotonin (zat yg ada di saraf kita yg fungsinya mengantarkan impuls saraf). "Dewasa ini faktor kurangnya serotonin juga meningkat yang bisa disebabkan oleh tingginya konsumsi makanan yang mengandung pengawet," ujar dr.Andi.
Selain itu, secara umum jumlah penderita penyakit diabetes melitus dan penderita gangguan saraf juga lebih banyak sehingga frekuensi ejakulasi dini lebih sering. Dengan semakin bertambahnya usia, maka faktor fisik (gangguan kesehatan) menjadi semakin berperan. Sementara itu pada penderita ED yang lebih muda, biasanya disebabkan karena faktor psikis.
Ejakulasi dini bisa membuat pria merasa kecewa dan rendah diri karena tidak bisa memuaskan pasangan. "Apalagi dalam hubungan seks, wanita lebih lama naik gairahnya. Bagaimana bisa memuaskan pasangan kalau belum apa-apa sudah ejakulasi," ujarnya.
Karena merasa rendah diri, menurut dr.Andi akibatnya banyak pria yang merasa malas untuk berhubungan seks. Bila ini berlangsung dalam waktu lama, bukan cuma ED, pria tersebut juga bisa mengalami gangguan ereksi. "Karena merasa tertekan, ia tidak bisa ereksi lagi," ujarnya.
Selain dengan obat-obatan, ED bisa diatasi dengan seks terapi dan latihan kegel. "Terapi seks harus dilakukan seorang pria dengan pasangannya. Dimulai dari konsultasi hingga terapi, suami istri harus bekerjasama," paparnya. Keberhasilan terapi tentu akan meningkatkan kualitas hidup bersama. (Kompas,Jumat, 5/3/2010)
0 komentar:
Posting Komentar